By Ismayanti
Air yang mengalir lewat kran kamar mandi di kamar kost ku itu, terasa dingin menampar kulit. Merasuk kedalam angan-angan jiwa, serta membekukan setiap nadi-nadi di pergelangan tanganku. Malam itu memang terasa berbeda. Selain karena cuaca yang seakan ditelan dewi malam, perasaan dan relung-relung terdalam kalbuku, juga sedang dihujam kepedihan yang teramat sangat.
Pisau itu, telah lama diam dimeja belajar kamarku. Namun malam ini, pisau itu telah menggoreskan bercak-bercak darah dari pergelangan tanganku. Diam dan perlahan mulai merenggut setiap detik hela nafas kehidupanku. Semuanya tampak tak seperti biasa. Aku hanya duduk dengan pergelangan tangan yang bersimpuh darah, sembari menikmati dinginnya air membekukan kalbu dan jiwaku. Aku sudah tidak sadar lagi. Mataku tak lagi dapat memerankan fungsinya sebagai indera penglihat. Keadaan di sekelilingku pun hanya terlihat kabur, bagai goresan tumpahan cat yang berwarna abu-abu.
Hati kecilku pun mulai berbisik, “Kamu harus berteriak minta tolong, kalau tidak, kamu bisa mati konyol disini.“ Ya, aku harus minta tolong. Tapi, bagian hati kecilku yang lain ikut berkomentar, “Buat apa minta tolong? Kalau kamu selamat, apa semua masalahmu itu akan selesai? Kalau kamu mati, kan kamu tenang, tidak akan ada lagi yang bisa mengganggu kehidupan kamu.” Komentar itu, terasa meluluh lantakan jiwaku. Melemahkan setiap otot-otot penggerak tubuhku dan membuang jauh-jauh sisa asa kehidupanku. Tak ada suara yang bisa keluar dari mulutku. Tak ada gerakan yang bisa ototku berikan. Serta tak ada nyali yang mampu aku munculkan.
Aku mulai menangis. Tetes demi tetes airmata ini, mulai memberi ruang untukku bernafas. Sosok-sosok familiar, samar-samar melintas di kepalaku. Mereka meratap, menjerit, dan menangis tersedu. Berpelukan dalam kabut hitam yang mengikat batin seseorang yang terkasihi. Mereka mengelu-elukan namaku. Mengeja huruf demi huruf dari susunan namaku. Sungguh, pemandangan yang mengilukan.
***
Kehangatan terasa menjalari separuh dari bagian tubuhku. Membangkitkan setiap syaraf tubuh, yang terasa lama tak berfungsi. Aku bernafas, karena dengan jelas bisa kurasakan setiap gerakan naik-turun didadaku. Berarti, aku masih hidup. Segera ku ambil kesimpulan itu.
Dengan enggan, kubuka kedua pelupuk mataku. Pelan-pelan, masih terasa kabur segala apa yang kulihat. Namun, dengan cepat alat indera ini mulai beradaptasi terhadap rangsangan yang diterimanya. Dan dengan segera, aku bisa tahu, dimana aku dan siapa mereka yang ada disekelilingku.
“Bodoh kali kau ini ka, aku tak tahu lagi lah bagaimana caranya dapat kunasehati kau ini!” Dengan dialek bataknya, Adey memprotes tindakan nekatku kali ini, tindakan bunuh diri tepatnya.
Adey adalah teman baikku. Kami telah ada di institusi pendidikan yang sama selama kami masih di bangku SMP. Adey tidak sendiri, disampingnya ada Ilham. Laki-laki yang selalu kukagumi semenjak kami dibangku SMA. Tapi sepertinya, hingga saat inipun perasaanku masih bertepuk sebelah tangan.
“Emang, temen loe yang satu ini khan orang yang paling nekat.” Ilham menimpali kata-kata yang diucapkan Adey sembari menatap tajam terhadapku. Aku mendesah, lalu berpaling menghindari tatapannya. Memandang hiruk pikuk kehidupan, lewat jendela kamar rawatku.
“Gue lagi engga mau debat atau diskusi mengenai hal apapun. Gue lagi pengen sendiri.” Tiba-tiba, rangkaian kata itu keluar dari mulutku. Adey dan Ilham tampak saling bertukar pandang. Mereka mungkin sedikit khawatir atau mungkin tersinggung dengan ucapanku tadi. Tapi lalu kudengar Ilham berkata, “Oke fine, kalau itu mau loe. Ayo dey!“. Ilham menarik lengan Adey, dan mulai beranjak keluar dari ruang rawatku.
Aku menghela nafas panjang. Berusaha melonggarkan setiap padatan-padatan yang menimbun tubuhku. Perlahan mulai terasa ringan. Membiarkan setiap aliran darahku bergerak bebas dalam nadi tempat tinggalnya. Serta melepaskan setiap kepenatan yang telah tersimpan jauh didalam angan-angan yang tak terjelma.
Bayangan akan masa laluku mulai terukir. Masa-masa dimana aku menyimpan sejuta tawa. Atau masa-masa dimana aku dirundung duka yang membawaku hingga ke pintu maut. Klise-klise kehidupan dengan sejumlah konflik. Ya, inilah masa laluku.
Namaku Alviyanka Isma Putri Maya. Nama yang unik namun sungguh, aku tak menyukainya. Sejak kecil, aku terbiasa hidup terpisah dari kedua orang tuaku. Aku sudah terbiasa dengan kehidupan di kota besar. Kehidupan jalanan, dan misteri-misteri yang tersimpan didalamnya.
Sendu ku menatap langit siang itu, tak ada pancar atau mega yang tersirat disana. Hanya gumpalan tinta putih beralas biru saja yang pekat kupandangi. Gerah rasanya menunggu disini,tak ada teman, hanya daun menari-nari beriringan bersama angin sepoi-sepoi. Mungkin tepatnya aku tak sendiri, banyak orang lalu lalang dihadapanku. Pantauan dinamis dan kompleksitas kehidupan manusia. Sungguh rumit dan tak fasih untuk difahami.
“Sedang menunggu apa?” begitu ujar nenek yang biasa membawa nampan berisi jajanan pasar melihatku. Keheran rupanya melihatku yang tiada hengkang dari tempat yang kusinggahi sedari berjam-jam yang lalu.
Aku masih diam. Hanya dengan menatapku erat, nenek itu berpaling dari tubuhku. Seakan bisa dibacanya jawaban didalam mataku. Aku mendesah, dan kembali menatap langit yang tak sama sekali indah siang itu. Sungguh, bukan suatu hal yang kuinginkan.
Aku yang sedari tadi diam, pun masih terdiam disini. Separuh hari tepatnya sudah kulalui. Lambaian tangan-tangan nakal milik angin sepoi-sepoi itupun, rupanya telah lelah menyapaku, karena sudah tak kurasa lagi ada kesejukan disini.
“Mungkin sudah waktunya pergi, tak usah menunggu lagi!" begitu bisik hatiku yang kecil. " “Sebentar lagi datang," sisi lain hatiku ikut berbisik.
Dinamika hati, sulit diikuti. Sepersekian detik kemudian mungkin, bagian hatiku yang lain ikut memberi pendapat. Hati juga bisa bicara, ikuti saja kata hatimu. Setidaknya begitulah kata orang-orang bijak. Tapi kalo begini? Kalau ada banyak hati yang berbicara, apakah harus kuikuti kata hati itu? Dan harus yang mana?
Ada ribuan tanda tanya kini difikiranku. Setidaknya, ini tak membuat keadaanku lebih baik dari beberapa detik yang lalu.
Sebenarnya, bukan apa yang sedang kutunggu, tapi siapa. Beberapa hari yang lalu, kutemui sepucuk surat dikotak pos milik kakek dan nenekku. Sebelumnya, tak pernah sekalipun kami menerima surat. Setidaknya sejak aku tinggal bersama kakek dan nenekku.
Ternyata surat itu dari kedua orang tuaku. Mereka yang telah lama tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Tengah itu, akhirnya mengirimkan sebuah kabar gembira bagiku. Surat itu berisikan, bahwa mereka akan tiba pada hari Jum’at pukul sembilan pagi untuk menjemputku tinggal bersama mereka. Tak terbayangkan senangnya aku kala itu. Aku tak henti-hentinya tersenyum dan membayangkan apa saja yang akan ku lakukan bersama-sama keluarga dan saudara-saudaraku. Maklum, selama ini aku tak pernah merasakan adanya kehangatan sebuah keluarga.
Namun, sekarang sudah pukul lima sore. Bahkan Bumi sudah mulai gelap, karena Matahari telah menenggelamkan sinarnya di barat. Aku mulai berfikir, apakah mereka akan benar-benar menjemputku? Ataukah surat yang mereka kirimkan kemarin hanya basa-basi semata?
Aku kecewa, dibohongi oleh kedua orang tuamu sendiri, terasa lebih menyakitkan ketimbang ditusuk oleh pisau belati. Orang yang bahkan tidak bisa disebut sebagai orang tuamu karena mereka tak pernah mengurusmu sedari kau lahir. Bahkan kini, memupuskan benih-benih harapan yang tumbuh untuk bisa hidup dalam satu keluarga.
Aku menyerah. Akhirnya aku dikalahkan oleh kekecewaanku sendiri. Aku berjalan kembali ke rumah kakek dan nenekku sembari membakar api kemarahan didalam sanubariku. Ada banyak yang mengganjal fikiranku. Fikran-fikiran yang semakin menyulut api amarahku.
***
Pagi itu, mataku terasa begitu sulit untuk terbuka. Efek dari menangis semalaman yang langsung kubawa tidur. Samar-samar kudengar suara orang-orang mengobrol diruang depan. Masih pukul tujuh pagi. Siapa mereka yang hendak bertamu sepagi ini?
Rasa penasaran membuatku memutuskan untuk beranjak ke ruang depan. Betapa terkejutnya aku, ternyata mereka adalah orang-orang yang sudah kutunggu separuh hari kemarin didepan gang rumah kakek dan nenekku. Kedua orang tuaku dan saudara saudara kandungku.
“Eh udah bangun anak mamah?’’ suara lembut itu menyapaku. Berjalan mendekatiku lalu memelukku dengan erat. Ada sensasi berbeda yang kurasakan. Tak pernah aku merasakan kehangatan yang teramat sangat seperti ini. Karena aku memang tak pernah dipeluk oleh seorang ibu.
Dia melepaskan pelukannya dariku. Menggenggam tanganku dan mengajakku ke ruang tengah untuk dipertemukan dengan ayah dan saudara-saudara kandungku. Aku bahagia mereka datang. Tapi, secara tak disadari, ini menjadi awal hitam dalam kehidupanku kedepan.
Akhirnya kami tinggal bersama sebagai sebuah keluarga. Aku, ayah, ibu, dan adik-adikku. Awalnya aku berfikir, aku bisa melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh sebuah keluarga pada umumnya. Tapi ternyata, semua fikiranku tentang itu, tak sama sekali benar. Semua berjalan sebaliknya.
Ayahku adalah seorang pegawai PNS yang bekerja dari pagi sampai malam. Sementara ibuku adalah ibu rumah tangga yang gemar bergosip dengan para tetangganya. Dan adikku, adalah seorang yang idealis, yang tak pernah berhenti belajar dan mengejar prestasi. Dia bahkan jarang berkomunikasi denganku. Bahkan kami kerap sekali bertengkar untuk sebuah fikiran-fikiran tertentu.
Ayah dan ibuku kerap sekali bertengkar. Mereka akan mempersalahkan hal-hal sepele yang sebenarnya tak begitu layak untuk dipertengkarkan. Hal yang paling sering mereka ributkan adalah masalah keuangan. Maklumlah, gaji ayah tak seberapa namun kebutuhan keluarga sangat banyak.
Dari sinilah aku mulai merasa tak nyaman dengan keluarga ini. Dirumah pun, aku diperlakukan seperti budak. Memasak, mencuci, menyapu, mengepel lantai, menyetrika, dan kegitan-kegiatan rumah tangga lainnya. Ya, kata orang itu kewajiban anak membantu orang tuanya. Tapi, adikku tak sama sekali pernah melakukan kegiatan itu. Apakah ini bisa dikatakan kewajiban seorang anak? Acap kali, aku kena marah untuk pekerjaan-pekerjaan yang tak sesuai dengan ibuku. Sementara ibuku, bak seorang ratu dirumah, minta dilayani dan tak ingin ada kesalahan. Aku mulai berfikir, apakah aku dijemput untuk dijadikan seorang pembantu. Tak hanya itu, selama kami tinggal bersama, aku sama sekali tak pernah berbicara dengan ayahku.
Sekolah, adalah surga buatku. Tempat dimana aku mengembangkan sayap-sayap kebebasan dan kesenangan. Adey adalah sahabat yang kerap menjadi tempat tampung cerita-cerita galauku dirumah.
“Elah, tak adakah cerita lain yang bisa kau ceritakan padaku? Bosanlah aku mendengarnya.” Begitu komentar Adey saat kuceritakan tentang keadaanku dirumah.
“Yee, mau gimana lagi? Emang begitu keadaannya.”
“Ya sudahlah, kita toh udah mau hampir lulus sekolah. Belajarlah kau yang rajin. Dapatkan beasiswa diluar daerah. Jadi, kau bisalah pergi jauh-jauh dari keluargamu itu.”
Kata-kata Adey itu, terasa masuk akal difikiranku. Sejak saat itu, aku menjadi tokoh idealis kedua dirumah. Aku jadi rajin belajar. Berusaha lulus dan masuk Perguruan Tinggi di luar daerah ini, dan pergi dari neraka yang telah membelenggu kehidupanku.
Malam itu, menjadi malam perwujudan keinginanku. Malam diumumkannya aku diterima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri Nomor satu di Indonesia, Universitas Indonesia. Kebahagiaanku bertambah, saat kutahu bahwa sahabatku Adey juga berhasil diterima di Universita yang sama.
Aku pulang dengan raut wajah gembira. Enggan rasanya melepas senyum dari kedua pelupuk pipiku ini. Tak sabar rasanya untuk mengobarkan kembali kebebasanku yang telah tertahan.
Sesampainya dirumah, kutemui ibuku sedang duduk bersimpuh dibawah kedua kaki ayahku. Matanya bercucuran air mata seraya terisak tersengguk-sengguk. Ayah melihatku datang, lalu berkata padaku,
“Lihat ini, seorang ibu yang kotor, hina, dan biadab. Jijik aku melihatnya!”
Aku keheranan, masih tak mengerti dengan apa yang terjadi dihadapanku sekarang ini. Kulihat sesosok laki-laki duduk di kursi ruang tamu itu. Lalu kupandang lagi ayah dan ibuku, meminta penjelasan terhadap apa yang tidak aku mengerti.
“Berani-beraninya kau selingkuh dengan laki-laki bajingan itu, sementara aku banting tulang diluar rumah demi menafkahi kau dan anak-anakku. Dasar pelacur!” ayahku menampar ibuku, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya diam, tak mampu mengendalikan susasana hatiku yang bagaikan dua sisi cermin.
“Maafkan aku mas, aku menyesal, aku janji tidak akan mengulanginya lagi.”
Laki-laki yang sedari tadi duduk itupun bangkit, lalu berkata, “Aku tahu kami salah, sudah kami akui. Maafkanlah dia, dan mulailah hidup baru. Aku akan pergi dari kehidupan kalian.”
Peristiwa ini terjadi begitu cepat. Sepersekian detik yang lalu, baru kurasakan sebening cahaya mentari pagi menyapa. Namun sepersekian detik kemudian, gumpalan kabut hitam mulai menjadi raja.
Aku mulai tak peduli dengan keadaan rumahku. Karena sejak saat itu, ibuku jadi lebih sering memarahiku dengan alasan yang tak pernah bisa kufikirkan. Akhirnya, pada suatu malam yang dingin, kuputuskan untuk kabur dari rumah. Aku menuju Depok, dan bersiap untuk memulai hidup baru disana.
Kufikir, ini akan jadi akhir cerita-cerita suramku. Namun ternyata tidak. Hidup memang tak selalu seperti yang diharapkan.
Tepat sebulan setelah aku kuliah, ayahku mengirimkanku pesan singkat yang berisi bahwa ibuku kabur dari rumah. Aku tidak peduli dengan pesan ini, lantas kudiamkam saja isi pesan ini. Tindakanku ini, ternyata tak berujung indah sesuai dengan apa yang aku harapkan.
Sebulan kemudian, tepatnya 2 hari lalu ayahku mengirimkanku pesan singkat lagi yang berisi bahwa ibuku kabur dengan laki-laki yang waktu itu. Dan ibuku bilang kalau akulah, yang mengijinkan mereka kabur dari rumah dan mengijinkan mereka untuk menikah. Ayahku mengancam, akan membawa hal ini ke jalur kepolisian.
Aku tak habis fikir. Seorang ibu, yang bahkan tak pernah mengalirkan kasih sayangnya padaku. Seorang ibu yang bahkan lebih menganggapku sebagai pembantu. Dan seorang ibu yang telah mengotori dirinya sendiri dari hakikat tertinggi makna seorang ibu. Tega dan mampu, melakukan segala cara demi kepentingannya. Bahkan, tega untuk mengorbankan perasaan anak yang dilahirkan dari rahimnya sendiri.
Waktu membawaku lagi kembali, ke ruang rawatku. Aku menangis lagi, mengucurkan air mata yang sudah tak terhitung banyaknya. Aku bisa saja mengakhiri hidupku, dan terlepas dari orang-orang yang selalu membawa penderitaan dikehidupanku. Tapi inilah aku. Aku masih ingin terbang, merasakan kebebasan yang sudah lama tak kukecup. Atau sekedar membuktikan pada mereka yang telah mengotori hidupku. Bahwa aku, tak selemah apa yang mereka fikir.
Kini, aku siap memulai lagi kehidupanku.
***
Saat fajar memanggil naluri diri. Angan angan mengembang bagai kunang kunang yang kehilangan pancarnya. Sang surya mengatupkan sendi sendi kehidupannya. Serta sang dewi malam terdiam didalam tempat persembunyiannya.
Asa, harapan, dan impian, kini menjadi kabur maknanya. Terlepas dari hakikat tertinggi setiap fikiran manusia. Bahkan mungkin, meracuni setiap rasa optimisme manusia.
Pekikan dan tanamkan “Kita Bisa”, dan fikirkanlah saat-saat bahagia bersama orang-orang yang kamu kasihi. Maka, jadikanlah itu sebagai benih keberanian, untuk melanjutkan hidup.
***
Keren kan cerpennya,,,hehehe...daripada aku ngutip cerpen orang lain yang disearch di jejaring sosial kan mending ngutip punya temenku sendiri to...hahahaha